Travelling

Lets Study

In India, Jordan and Malaysia

Be the Best!

Join Here
Wisata Religi

Barus, Kota Tua

Rasakan Sensasinya

Keindahan Alam

Daftar di Sini
Wisata Sejarah

Tapanuli dan Sekitarnya

Temukan Berbagai Kejutan

Kembangkan Wawasan

Lihat di Sini
Ibadah

Haji dan Umrah

Bersama Kami

Rasakan yang Terbaik

Kunjungi Kami

Feel Free, to Enjoy Our Services

  • Airline Tickets and General Payments

  • Car Rental

  • Vacation Packages

  • Hajj and Umrah

  • Cafe and Resto's

Our Latest Blog

Selasa, 27 Mei 2025

‎Sejarah Pulau Banyak, Dari Kerajaan ke Sengketa‎


‎Empat pulau kecil di gugusan Pulau Banyak kembali menjadi sorotan nasional usai Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan wilayah administrasi baru. Keputusan tersebut memicu reaksi dari Pemerintah Aceh yang menilai keempat pulau itu merupakan bagian dari wilayah Aceh Singkil sejak dahulu kala.
‎Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek kini secara administratif masuk ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Hal ini tertuang dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan pada 25 April 2025 lalu.
‎Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menegaskan bahwa Pemerintah Aceh tidak tinggal diam. Pihaknya berkomitmen memperjuangkan kembali status keempat pulau itu sebagai bagian dari Tanah Rencong. “Proses perubahan status itu sudah bergulir sejak sebelum tahun 2022,” katanya.
‎Sejarah Pulau Banyak sendiri menyimpan kisah panjang sebelum menjadi wilayah administratif modern seperti saat ini. Dahulu, Pulau Tuangku — pulau terbesar di gugusan ini — menjadi pusat kerajaan kecil yang didirikan oleh Malikul Baraya, seorang pemimpin lokal dengan pengaruh besar di kawasan tersebut.
‎Kampung Lamo, cikal bakal pemukiman di Pulau Tuangku, berkembang pesat berkat kebijakan terbuka sang raja. Setiap pendatang yang singgah di pulau itu disambut baik dan ditawari tempat tinggal serta lahan garapan dengan syarat bersedia menetap. Inilah awal dari keragaman etnis yang menetap di pulau-pulau tersebut.
‎Nama Pulau Tuangku diambil dari gelar Raja kelima, Malingkar Alam. Seiring waktu, pemerintahan kampung Lamo berjalan harmonis dan menghasilkan generasi penerus yang meneruskan kepemimpinan kerajaan kecil itu di perairan barat Sumatra.
‎Malikul Baraya, pendiri kerajaan, dikaruniai seorang putra bernama Bayanudin. Saat beranjak dewasa, Bayanudin ditunjuk menjadi panglima kerajaan dengan wewenang atas darat dan laut, ditandai dengan pemberian dua bilah pedang sakral warisan kerajaan.
‎Namun masa kepemimpinan Bayanudin tak berlangsung lama di Pulau Tuangku. Ia kemudian berpindah ke wilayah Nias, membentuk daerah baru yang dinamainya Tunjang Manok — atau “Luza Manu” dalam bahasa Nias. Di sana, Bayanudin menetap dan akhirnya wafat, sementara kekuasaan di kampung Lamo dilanjutkan oleh putranya, Ma’arif.
‎Sementara itu, seorang murid Ma’arif yang dikenal dengan sebutan Bedil Uyuk atau Baeha kemudian diangkat menjadi Panglima Laut. Kiprahnya memperkuat pertahanan kerajaan di perairan Pulau Banyak yang kerap menjadi jalur pelayaran penting dari Aceh ke Sumatra dan Nias.
‎Dalam catatan lisan masyarakat Pulau Banyak, kerajaan ini bertahan selama lebih dari 300 tahun. Peran panglima dan raja diwariskan secara turun-temurun, membentuk tatanan sosial yang rapi di pulau-pulau kecil tersebut hingga datangnya era kolonial.
‎Cerita tentang Kerajaan Kampung Lamo menjadi warisan tak tertulis yang masih hidup di ingatan masyarakat lokal. Tradisi dan adat yang diwariskan sejak masa Malikul Baraya masih dijaga oleh warga Pulau Tuangku dan sekitarnya.
‎Namun seiring perubahan zaman dan administrasi modern, wilayah yang dahulu dikuasai kerajaan kecil itu mulai terpecah secara administratif. Perkembangan geopolitik lokal pun membuat gugusan Pulau Banyak tak lepas dari tarik-menarik kepentingan antarwilayah.
‎Ketegangan antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah soal keempat pulau itu mencuat setelah Kepmendagri terbaru menetapkannya ke dalam wilayah Sumatera Utara. Aceh menilai keputusan itu mengabaikan sejarah dan fakta sosial di lapangan.

‎Pemerintah Aceh mengklaim memiliki dasar historis dan administratif yang kuat bahwa keempat pulau tersebut bagian dari Aceh Singkil. Proses pengumpulan bukti dan kajian ulang pun tengah dilakukan untuk memperjuangkan status wilayah itu.
‎Di sisi lain, Pemerintah Tapanuli Tengah menyambut baik keputusan Kemendagri. Mereka menganggap status baru ini sebagai legalitas sah sesuai administrasi nasional yang berlaku.
‎Sementara masyarakat Pulau Banyak, terutama di Pulau Tuangku, berharap sengketa ini bisa diselesaikan secara damai tanpa merusak kerukunan antarwarga. Sebab, sejak dahulu pulau-pulau ini dihuni oleh berbagai suku dan etnis yang hidup berdampingan.
‎Sejumlah tokoh adat setempat juga mulai mendorong dialog budaya antar kedua wilayah demi menjaga identitas sejarah Pulau Banyak yang selama ini menjadi saksi peradaban maritim kuno di perairan barat Sumatra.
‎Sejarah panjang Pulau Banyak, dari kerajaan kecil Kampung Lamo hingga sengketa administratif saat ini, menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga warisan sejarah sekaligus ketepatan administrasi wilayah.

‎Kini, semua mata tertuju pada langkah Pemerintah Aceh dan Tapanuli Tengah dalam menyikapi persoalan ini. Apakah Pulau Banyak akan tetap terpecah secara administratif, atau sejarah masa lalu akan dijadikan rujukan untuk menyatukan kembali Tanah Rencong dengan gugusan pulau warisan leluhurnya?
‎https://atjehwatch.com/2022/07/18/mengulik-sejarah-terbentuknya-kerajaan-pulau-tuangku/