Travelling

Lets Study

In India, Jordan and Malaysia

Be the Best!

Join Here
Wisata Religi

Barus, Kota Tua

Rasakan Sensasinya

Keindahan Alam

Daftar di Sini
Wisata Sejarah

Tapanuli dan Sekitarnya

Temukan Berbagai Kejutan

Kembangkan Wawasan

Lihat di Sini
Ibadah

Haji dan Umrah

Bersama Kami

Rasakan yang Terbaik

Kunjungi Kami

Feel Free, to Enjoy Our Services

  • Airline Tickets and General Payments

  • Car Rental

  • Vacation Packages

  • Hajj and Umrah

  • Cafe and Resto's

Our Latest Blog

Sabtu, 28 Juni 2025

Pelabuhan Hobyo, Taruhan Baru Somalia dan Turki

Pemerintah Somalia resmi memulai proyek pembangunan pelabuhan laut Hobyo di wilayah Galmudug dengan menggandeng perusahaan Metag Holding. Proyek ini digadang-gadang menjadi titik balik ekonomi kawasan sekaligus arena perebutan pengaruh geopolitik di Tanduk Afrika. CEO HICO, Mohamed Ali Warsameh, menyebut pelabuhan ini sebagai aset strategis yang dapat mengubah peta perdagangan regional.

Metag Holding akan bertanggung jawab atas konstruksi dan memegang 30 persen saham di proyek ini, sementara sisanya akan dibuka bagi investor internasional. Presiden Galmudug, Ahmed Abdi Kariye, memastikan bahwa pendanaan awal senilai 70 juta dolar AS telah diamankan untuk fase pertama pelabuhan tersebut.

Proyek ini dirancang untuk menghubungkan Hobyo dengan berbagai wilayah di Somalia dan negara tetangga, khususnya Ethiopia. Rencana ini dinilai berpotensi mengurangi ketergantungan Ethiopia terhadap pelabuhan Djibouti, yang selama ini menjadi jalur utama ekspor-impor negara tanpa laut tersebut.

Direktur Raad Peace Research Institute, Mohamed Husein Gaas, menilai jika dikelola dengan baik, pelabuhan ini bisa menggeser dinamika perdagangan di Tanduk Afrika. Meski demikian, proyek ini tetap harus menavigasi ketegangan politik antara Somalia dan Ethiopia yang hingga kini masih bergejolak.

Di balik proyek pelabuhan ini, Somalia baru saja mengumumkan temuan cadangan minyak raksasa sebanyak 50 miliar barel di wilayah Galmudug, tepat di mana Hobyo berada. Kapal pertama dari Turki untuk eksplorasi dan survei minyak dijadwalkan tiba di pesisir Somalia pada 19 Oktober mendatang.

Analis keamanan dan mantan penasihat presiden Somalia, Dr. Abdiqafar Farah, menyebut eksplorasi minyak akan difokuskan di wilayah lepas pantai untuk menghindari ancaman kelompok bersenjata di daratan. Upaya ini turut didukung armada internasional demi memastikan keamanan proses eksplorasi.

Turki terlihat mengambil langkah lebih terukur dibanding negara Teluk. Sebelumnya, Qatar sempat menandatangani kesepakatan senilai 170 juta dolar AS untuk membangun Hobyo pada 2019, namun kandas akibat ketegangan politik dalam negeri Somalia dan perubahan peta aliansi kawasan.

Pakar politik Somalia, Abdisalan, menyebut pendekatan bisnis murni Turki menjadi kunci keberhasilan proyek ini. Berbeda dari Qatar yang cenderung membawa agenda politik kawasan, Turki datang dengan fokus investasi dan keuntungan ekonomi bagi kedua belah pihak.

Dalam setahun terakhir, Turki semakin aktif di Somalia. Februari lalu mereka meneken kesepakatan maritim dan pertahanan, disusul kerja sama minyak dan gas pada Maret. Pelabuhan Hobyo kini menjadi bagian dari rangkaian strategi Turki memperluas pengaruh di Tanduk Afrika.

Gaas menilai langkah Turki ini pasti dicermati cermat oleh Uni Emirat Arab dan Arab Saudi yang juga berkepentingan di kawasan. Kedua negara Teluk itu sebelumnya berinvestasi besar di pelabuhan lain seperti Berbera di Somaliland dan Bosaso di Puntland.

Sementara itu, keberhasilan proyek Hobyo dinilai bisa mengerek posisi Galmudug sebagai wilayah paling strategis di Somalia. Dengan potensi minyak besar dan pelabuhan laut dalam, Galmudug berpeluang menjadi episentrum ekonomi baru, menyaingi Somaliland dan Puntland.

Posisi Hobyo yang menghadap langsung ke Samudera Hindia menjadi nilai tambah tersendiri. Pelabuhan ini dapat menjadi jalur alternatif bagi kapal-kapal pengangkut barang dari Afrika Timur menuju Asia tanpa harus melewati pelabuhan-pelabuhan di Laut Merah.

Jika rampung sesuai rencana, Hobyo berpotensi menyerap ribuan tenaga kerja lokal, memperbaiki infrastruktur jalan penghubung, dan menarik investasi di sektor logistik, manufaktur, serta ekspor hasil bumi dari wilayah tengah Somalia.

Proyek ini juga diyakini akan memantik persaingan antarnegara asing yang selama ini berebut pengaruh di Somalia. Selain Turki, Qatar, UEA, dan Arab Saudi, investor dari Tiongkok dan Mesir mulai menunjukkan ketertarikan terhadap kawasan ini.

Bagi pemerintah Somalia, proyek Hobyo bisa menjadi simbol kemandirian baru di bidang ekonomi. Namun keberhasilannya tetap bergantung pada stabilitas keamanan dalam negeri dan kemampuan pemerintah pusat menjaga keseimbangan politik antar-wilayah.

Seiring terbukanya potensi minyak dan jalur perdagangan baru, banyak kalangan memperingatkan risiko pergesekan internal antar klan dan kelompok milisi yang selama ini kerap memanfaatkan pelabuhan ilegal untuk penyelundupan.

Di tengah peta geopolitik Tanduk Afrika yang kompleks, Hobyo bukan sekadar pelabuhan, tapi cerminan siapa yang paling piawai membaca peluang investasi dan diplomasi ekonomi di kawasan paling panas di benua Afrika.

Selasa, 27 Mei 2025

‎Sejarah Pulau Banyak, Dari Kerajaan ke Sengketa‎


‎Empat pulau kecil di gugusan Pulau Banyak kembali menjadi sorotan nasional usai Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan wilayah administrasi baru. Keputusan tersebut memicu reaksi dari Pemerintah Aceh yang menilai keempat pulau itu merupakan bagian dari wilayah Aceh Singkil sejak dahulu kala.
‎Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek kini secara administratif masuk ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Hal ini tertuang dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan pada 25 April 2025 lalu.
‎Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menegaskan bahwa Pemerintah Aceh tidak tinggal diam. Pihaknya berkomitmen memperjuangkan kembali status keempat pulau itu sebagai bagian dari Tanah Rencong. “Proses perubahan status itu sudah bergulir sejak sebelum tahun 2022,” katanya.
‎Sejarah Pulau Banyak sendiri menyimpan kisah panjang sebelum menjadi wilayah administratif modern seperti saat ini. Dahulu, Pulau Tuangku — pulau terbesar di gugusan ini — menjadi pusat kerajaan kecil yang didirikan oleh Malikul Baraya, seorang pemimpin lokal dengan pengaruh besar di kawasan tersebut.
‎Kampung Lamo, cikal bakal pemukiman di Pulau Tuangku, berkembang pesat berkat kebijakan terbuka sang raja. Setiap pendatang yang singgah di pulau itu disambut baik dan ditawari tempat tinggal serta lahan garapan dengan syarat bersedia menetap. Inilah awal dari keragaman etnis yang menetap di pulau-pulau tersebut.
‎Nama Pulau Tuangku diambil dari gelar Raja kelima, Malingkar Alam. Seiring waktu, pemerintahan kampung Lamo berjalan harmonis dan menghasilkan generasi penerus yang meneruskan kepemimpinan kerajaan kecil itu di perairan barat Sumatra.
‎Malikul Baraya, pendiri kerajaan, dikaruniai seorang putra bernama Bayanudin. Saat beranjak dewasa, Bayanudin ditunjuk menjadi panglima kerajaan dengan wewenang atas darat dan laut, ditandai dengan pemberian dua bilah pedang sakral warisan kerajaan.
‎Namun masa kepemimpinan Bayanudin tak berlangsung lama di Pulau Tuangku. Ia kemudian berpindah ke wilayah Nias, membentuk daerah baru yang dinamainya Tunjang Manok — atau “Luza Manu” dalam bahasa Nias. Di sana, Bayanudin menetap dan akhirnya wafat, sementara kekuasaan di kampung Lamo dilanjutkan oleh putranya, Ma’arif.
‎Sementara itu, seorang murid Ma’arif yang dikenal dengan sebutan Bedil Uyuk atau Baeha kemudian diangkat menjadi Panglima Laut. Kiprahnya memperkuat pertahanan kerajaan di perairan Pulau Banyak yang kerap menjadi jalur pelayaran penting dari Aceh ke Sumatra dan Nias.
‎Dalam catatan lisan masyarakat Pulau Banyak, kerajaan ini bertahan selama lebih dari 300 tahun. Peran panglima dan raja diwariskan secara turun-temurun, membentuk tatanan sosial yang rapi di pulau-pulau kecil tersebut hingga datangnya era kolonial.
‎Cerita tentang Kerajaan Kampung Lamo menjadi warisan tak tertulis yang masih hidup di ingatan masyarakat lokal. Tradisi dan adat yang diwariskan sejak masa Malikul Baraya masih dijaga oleh warga Pulau Tuangku dan sekitarnya.
‎Namun seiring perubahan zaman dan administrasi modern, wilayah yang dahulu dikuasai kerajaan kecil itu mulai terpecah secara administratif. Perkembangan geopolitik lokal pun membuat gugusan Pulau Banyak tak lepas dari tarik-menarik kepentingan antarwilayah.
‎Ketegangan antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah soal keempat pulau itu mencuat setelah Kepmendagri terbaru menetapkannya ke dalam wilayah Sumatera Utara. Aceh menilai keputusan itu mengabaikan sejarah dan fakta sosial di lapangan.

‎Pemerintah Aceh mengklaim memiliki dasar historis dan administratif yang kuat bahwa keempat pulau tersebut bagian dari Aceh Singkil. Proses pengumpulan bukti dan kajian ulang pun tengah dilakukan untuk memperjuangkan status wilayah itu.
‎Di sisi lain, Pemerintah Tapanuli Tengah menyambut baik keputusan Kemendagri. Mereka menganggap status baru ini sebagai legalitas sah sesuai administrasi nasional yang berlaku.
‎Sementara masyarakat Pulau Banyak, terutama di Pulau Tuangku, berharap sengketa ini bisa diselesaikan secara damai tanpa merusak kerukunan antarwarga. Sebab, sejak dahulu pulau-pulau ini dihuni oleh berbagai suku dan etnis yang hidup berdampingan.
‎Sejumlah tokoh adat setempat juga mulai mendorong dialog budaya antar kedua wilayah demi menjaga identitas sejarah Pulau Banyak yang selama ini menjadi saksi peradaban maritim kuno di perairan barat Sumatra.
‎Sejarah panjang Pulau Banyak, dari kerajaan kecil Kampung Lamo hingga sengketa administratif saat ini, menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga warisan sejarah sekaligus ketepatan administrasi wilayah.

‎Kini, semua mata tertuju pada langkah Pemerintah Aceh dan Tapanuli Tengah dalam menyikapi persoalan ini. Apakah Pulau Banyak akan tetap terpecah secara administratif, atau sejarah masa lalu akan dijadikan rujukan untuk menyatukan kembali Tanah Rencong dengan gugusan pulau warisan leluhurnya?
‎https://atjehwatch.com/2022/07/18/mengulik-sejarah-terbentuknya-kerajaan-pulau-tuangku/